Jumat, 23 Maret 2012

Kewarganegaraan Wawasan Nusantaraa !!!!

Wawasan Nusantara sangat dibutuhkan bagi setiap individu yaitu untuk perekat antara pendapat, kepercayaan, hubungan dsb yang dimiliki setiap individu dalam melaksanakan kewarganegaraan,
Adapun kata wawasan memiliki suatu pengertian yakni cara pandang atau cara melihat.Ada tiga faktor penentu utama yang harus diperhatikan suatu bangsa yaitu :
a.Bumi/ruang dimana bangsa itu hidup
b.Jiwa.tekat,dan semangat jiwa manusia/rakyat
c.Lingkungan
Wawasan Nasional adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung, serta pembangunannya didalam bernegara ditengah-tengah lingkungannya baik nasional,regional. Maupun global.
Landasan Wawasan  Nasional dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dianut oleh Negara yang bersangkutan.
1.Paham-paham Kekuasaan
a.Machiavelli yaitu  dengan judul buku The Prince yang berisikan bunyi dalil-dalil dalam mempertahankan kekuasaan suatu Negara
b.napoleon Bonaparte (abad XVIII) yaitu perang dimasa depan dalah perang total yakni perang yang mengerahkan segala daya,upaya dan kekuatan nasional
c.Jendral Clausewitz yang sempat diusir pasukan napoleon ke rusia dan akhirnya bergabung dengan pasukan Rusia.
d.Fuerback dan Hegel (abad XVII) menghasilkan paham Kapitalisme dan Komunisme
e.Lenin (abad XIX) yaitu menghasilkan paham perang adalah kelanjutan politik dengan cara kekerasan.
f.Lucian W.pye dan Sidney Dalam buku nya POLITICAL CULTURAL dan POLITICAL DEVELOVEMENT  berisikan kemantapansistem politik hanya dapat dicapai apabila berakar pada kebudayaan politik bangsa yang bersangkutan.

2.Teori-teori Geopolitik yaitu ilmu yang mempelajari gejala politik dari aspek georafi. Teori ini banyak dikemukakan oleh para sarjana seperti :
a.Federich Ratzel
b.Rudolf  Kjellen
c.Karl Haushorfer
d.Sir Halford Makcinder
e. Sir Walter Raleigh dan Alferd Thyer Mahan
f. W. Mitchel, A.Seversky,Giulio Douhet, J.F.C Fuller
g. Nicholas J Spykman

Paham Kekuasaan Indonesia adalah berfalsafah pada pancasila yakni “Indonesia Cinta Damai ,Tetapi lebih Cinta pada Kemerdekaan”
Geoppolitic Indonesia yakni menganut paham Negara kepulauan menurut ARCHIPILAGO CONCEPT
Dasar pemikiran wawasan nasional Indonesia yaitu mengembangkan dari segi kenyataan yaitu dari aspek latar belakang sosial budaya dan kesejahteraan indonesia
Untuk pembahasan latar belakang filosofi sebagai dasar pemikiran dan pembinaan nasional Indonesia ditinjau dari :
1.Pemikiran berdasarkan pada falsafah pancasila yaitu makhluk Indonesia adalah makhluk ciptaan tuhan yang mempunyai naluri,akhlak dan daya berfikir,sadar akan keberadaan nya yang serba ketergantungan dengan sesama linkungan ,Alam semesta dan penciptanya
2.Pemikiran Berdasarkan Aspek kewilayahan yaitu dalam kehidupan bernegara,geografi merupakan suatu fenomena yang mutlak diperhatikan dan diperhitungkan baik funsi maupun pengaruhnya terhadap sikap dan tata laku Negara yang bersangkutan.
3.Pemikiran berdasarkan Aspek Sosial Budaya yaitu Budaya/kebudayaan  secara etimologis adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi manusia. Kebudayaan diungkapkan sebagai cipta,rasa, dan karsa (budi,perasaan dan kehendak)
4.Pemikiran Berdasarkan Aspek Kesejahteraan yaitu perjuangan suatu bangsa dalam meraih cita-cita pada umumnya tumbuh dan berkembang akibat ltar belakang sejrah.

Menurut Prof.Dr.Wan Usman Wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai Negara kepulauannya dengan semua aspek keaneka ragaman

Hakekat wawasan nusantara adalah keutuhan nusantara/nasional, dalam pengertian : cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional .

Asas wawasan nusantara merupakan ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi ,ditaati ,dipelihara, dan diciptakan agar terwujud demi tetap taat dan setianya komponen pembentuk bangsa Indonesia terhadap kesepaktan bersama
Asas Wawasan Nusantara Terdiri dari : Kepentingan/Tujuan yang sama, keadilan, kejujuran, solidaritas, kerjasama, kesetiaan terhadap kesepakatan

Kedudukan Wawasan Nusantara yakni Ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat dengan tujuan agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam rangka mencapai dan mewujudkan tujuan nasional

Fungsi Wawasan Nusantara adalah pedoman,motivasi,dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan.keputusan, tindakan, dan perbuatan ,baik bagi penyelenggaraan Negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat dalam kehidupan bermasyarakat ,bernegara dan berbangsa

Implementasi wawsan Nusantara , Penerapan Wawasan Nusantara harus tercemin pada pola pikir ,sikap dan tindakan yang senantiasa mendahulukan kepentingan Negara .

Tantangan Implementasi Nusantara :
1.Pemberdayaan Masyarakat
2.Dunia Tanpa Batas (perkembangan IPTEK)
3.Era Baru Kapitalisme
4.Kesadaran Warganegara
Keberhasilan Wawasan Nusantara Diperlukan kesadaran WNI ,Untuk :
1.Mengerti,memahami,menghayati tentang hak dan kewajiban warganegara serta hubungan warganegara dengan Negara ,sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia.
2.Mengerti,memahami,menghayati tentang bangsa yang telah menegara, bahwa dalam menyelenggarakan kehidupan memerlukan konsepsi wawasan nusantara sehingga sadar sebagai wara Negara yang memiliki cara pandang
Agar kedua hal dapat terwujud ,diperlukan sosialisasi dengan program yang teratur ,terjadwal dan terarah.

Konglomerasi Media di Era Digital dan Kebebasan Informasi Tentang Ham


Pengantar
1. Di masa lalu, ketika rejim otoriter berkuasa, kebebasan pers dibatasi—untuk tidak mengatakan dibungkam. Kritik yang dilontarkan dunia pers hampir tak pernah bisa muncul ke permukaan. Ada beberapa instrumen yang digunakan rejim otoriter masa lalu untuk mengerdilkan komunitas pers. Salah satunya adalah ancaman pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang digunakan penguasa masa lalu untuk mengerangkeng kebebasan pers, utamanya ketika kritik dan pemberitaan suatu media dianggap mengancam kekuasaan. Pembreidelan terhadap Tempo, Detik, dan Editor pada 1994 menegaskan masa-masa kelam kebebasan pers di masa lalu.

2. Setelah rejim otoriter jatuh pada 1998, kebebasan pers di Indonesia membaik. Rejim-rejim Pasca-Soeharto membuka kran kebebasan pers seiring dengan diterimanya rejim demokrasi dan HAM dalam politik hukum kita. Sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi, media massa mengalami kebebasan yang hampir mencapai puncaknya. Media massa kita bebas memberitakan apapun tanpa khawatir adanya pembreidelan. Pertanyaannya kemudian: apakah kebebasan pers yang kita nikmati kini telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi penguatan rejim demokrasi dan HAM?
3. Pertanyaan itu tak mudah dijawab secara meyakinkan. Kini bahkan tampak kecenderungan munculnya arus balik ketika kebebasan pers dan demokrasi menampakkan sisi gelapnya: mekanisme pasar yang difasilitasi kebebasan politik dan demokrasi memungkinkan siapapun, termasuk si empunya modal besar, untuk membangun imperium bisnis, termasuk di dalamnya bisnis media. Kekuatan media sebagai pembangun diskursus, opini publik, dan citra telah menjadi magnet kuat yang menarik aktor-aktor ekonomi dan politik untuk masuk dan terlibat dalam industri media.
Jalan Tol bagi Konglomerasi dan Konvergensi Media
4. Aktor-aktor ekonomi pemilik modal besar melirik pentingnya media sebagai ”kendaraan” untuk mengukuhkan dominasi ekonomi politiknya. Kecenderungan ini bermuara pada munculnya fenomena mutakhir dimana kepemilikan media-media arus utama (mainstream) dikuasai oleh segelintir pengusaha besar (konglomerat), baik yang memiliki kedekatan politik dengan penguasa ataupun pengusaha yang sedang mengincar kekuasaan politik. Sekurang-kurangnya ada empat pihak yang menguasai kepemilikan media besar, yaitu Chairul Tanjung, Kelompok Kompas Gramedia, Harry Tanoesoedibjo, dan Aburizal Bakrie.
5. Konglomerasi media makin disuburkan oleh revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh kehadiran internet dan digitalisasi data dan informasi. Situasi ini membuka peluang bagi terjadinya konvergensi (penggabungan) media. Ada tiga bentuk konvergensi media, yaitu:
a. Konvergensi telematika yang ditandai oleh penggabungan berbagai bentuk saluran media konvensional (cetak dan elektronik) ke dalam suatu media tunggal. Data dan informasi yang disuguhkan melalui suratkabar dan televisi, misalnya, bisa diakses secara online melalui internet maupun telepon genggam. Berbagai layanan informasi yang dulunya disajikan melalui beberapa media konvensional dapat disuguhkan dalam satu media tunggal.
b. Konvergensi kepemilikan media yang ditandai oleh kepemilikan beberapa media oleh satu grup usaha. Seorang pengusaha media memiliki beberapa jenis media sekaligus, baik media cetak, televisi, radio, maupun media daring. Argumen efisiensi dan taktik bisnis melatarbelakangi konvergensi jenis ini. Hal ini berdampak pada pemusatan kepemilikan media pada beberapa gelintir pengusaha media.
c. Konvergensi kepemilikan silang bisnis media dan nonmedia yang ditengarai oleh kepemilikan media oleh pengusaha-pengusaha bermodal kuat yang dekat dengan komunitas politik dan memiliki bisnis nonmedia (properti dan tambang, misalnya). Mereka terjun ke bisnis media dan, dengan demikian, memiliki kapasitas yang besar untuk “mengintervensi” proses pembentukan opini publik melalui media yang dimilikinya, utamanya ketika wacana publik tengah mempersoalkan bisnis nonmedia si empunya media. Longgarnya aturan tentang kepemilikan media patut diduga telah melahirkan fenomena ini.
6. Pemusatan kepemilikan media hanya pada segelintir pengusaha di ring politik utama harus diwaspadai sebagai ancaman tersembunyi bagi demokrasi dan HAM. Alih-alih memunculkan kompetisi bisnis media yang sehat, kepemilikan silang bisnis media dan nonmedia dapat melahirkan suatu gejala lain yang mengancam demokrasi dan HAM, yaitu kartel politik. Kartel jenis ini dapat mengontrol agenda opini dan kebijakan publik.
7. Media berhubungan dengan pembangunan wacana di wilayah publik dan lalu berdampak pada pengkristalan opini publik. Opini publik sendiri, dalam iklim demokrasi, akan sangat berpengaruh bagi penyusunan agenda kebijakan publik. Jika media hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha yang berada di sekitar ring politik, pembangunan wacana publik besar kemungkinan akan mengalami abuse dan decay (pembusukan). Agenda-agenda kebijakan publik pada akhirnya hanya akan dipengaruhi oleh “opini publik” yang lebih merepresentasikan kepentingan ekonomi-politik si empunya media, dan bukan kepentingan publik dalam arti sesungguhnya.
8. Dampak lain dari konglomerasi dan konvergensi kepemilikan bisnis media dan nonmedia adalah makin seragamnya informasi dan berita yang disuguhkan kepada publik. Di samping itu, kemungkinan degradasi kualitas pemberitaan media sulit untuk dihindari ketika—demi efisiensi—sebuah grup media mempekerjakan wartawan untuk beberapa media dalam grupnya. Alhasil, sulit bagi publik untuk menerima informasi yang lengkap, beragam, dan obyektif.
9. Dalam konteks pembangunan kebebasan pers yang sehat bagi demokrasi dan HAM, langkah dan kebijakan pemerintah untuk membatasi pemusatan kepemilikan media di satu sisi dan menjamin hak warga atas informasi di sisi lain menjadi agenda penting untuk menjaga keragaman dan kedalaman informasi bagi publik.
Jalur Lambat Bagi Kebebasan Informasi
10. Respon pemerintah dalam menanggapi revolusi teknologi informasi tidak tepat sasaran. Alih-alih membangun regulasi yang membatasi peluang para pemilik modal besar untuk”mengintervensi” agenda-agenda kebijakan publik melalui media yang dimilikinya, pemerintah justru lebih fokus pada pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi warga di internet.
11. Pada 2008 Pemerintah Indonesia memberlakukan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini dapat mengkriminalisasi siapapun yang menulis di media elektronik, termasuk internet, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pasal 27 UU ITE menyatakan larangan untuk “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
12. Pada Mei 2009 pasal karet dalam UU ITE itu telah menjerat seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari, dengan pasal pencemaran nama baik. Prita adalah mantan pasien Rumah Sakit (RS) Omni Internasional, Tangerang. Prita tidak mendapatkan kesembuhan setelah dirawat RS Omni, bahkan penyakitnya bertambah parah. Prita kemudian mengeluhkan pelayanan RS Omni melalui e-mail yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di internet. RS Omni yang merasa nama baiknya dicemarkan oleh e-mail Prita, lalu mengadukan Prita ke pengadilan. Prita diputus bersalah dalam pengadilan perdata dengan tuduhan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Ayat 3 Pasal 27 UU ITE. Prita harus membayar denda kepada RS Omni Internasional senilai Rp. 204 juta.
13. UU ITE tidak sejalan dengan rejim HAM yang dibangun bangsa ini sejak rejim otoriter mengalami kebangkrutan pada 1998.
Hak atas Informasi sebagai Hak Asasi Manusia
14. Pada 1946 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa hak atas informasi sangat penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Hak ini menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris yang, dengannya, menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya. Dengan pertimbangan itu, hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di dalam pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.
15. Penguatan hak atas informasi dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 (Kovenan Sipol) yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Di dalam Pasal 19 Kovenan Sipol dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya.
16. Norma-norma HAM yang tercantum di dalam instrumen-instrumen pokok sebagaimana disebut dalam paragraf 14 dan 15 mengikat Negara Indonesia dan berlaku sebagai hukum nasional (supreme law of the land). Pemerintah Indonesia selanjutnya mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam hukum HAM internasional tersebut dan sekaligus mengakui bahwa hak-hak yang terkandung dalam instrumen tersebut dimiliki oleh seluruh individu. Mengingat Indonesia tidak mereservasi ketentuan-ketentuan dalam Kovenan Sipol, maka ketentuan dalam kovenan Sipol, termasuk soal hak atas informasi, berlaku bagi Indonesia.
17. Di dalam instrumen hukum nasional, hak atas informasi ditempatkan dalam konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karena itu, hak atas informasi diklasifikasikan sebagai hak konstitusional yang menuntut kewajiban negara dalam pemenuhannya. Hak atas informasi juga ditegaskan UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 14/2008 tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP).
Negara Sebagai Pemangku Kewajiban
18. Dalam hukum HAM, negara c.q. pemerintah berkedudukan sebagai pemangku kewajiban. Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the obligation tofulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut.
19. Kewajiban negara c.q. pemerintah untuk memajukan dan menegakkan HAM tertera pada UUD 1945. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Semangat yang sama tampak dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 39/1999 yang menegaskan bahwa negara wajib menghormati, melindungi, serta menjunjung tinggi HAM.
20. Hak atas informasi dimasukkan ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik (sipol) dan bukan merupakan rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Ada dua perbedaan mendasar antara hak-hak ekosob dan hak-hak sipol. Hak-hak sipol disebut juga sebagai hak negatif yang mensyaratkan tiadanya campur tangan negara dalam pemenuhannya dan bersifat justiciable. Negara harus memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap individu untuk menikmati hak-haknya (Kasim, 2001). Semakin negara mengatur tentang hak sipol, maka peluang bagi terjadinya pelanggaran HAM makin besar. Sebaliknya hak-hak ekosob merupakan hak positif yang mensyaratkan keterlibatan aktif negara untuk mewujudkan penikmatannya secara progresif dan nonjusticiable (Kasim dan Arus, 2001).
21. Dalam konteks sebagaimana disebut paragraf 20, pengaturan terhadap hak atas informasi, utamanya dalam hal konten, sangat baik bagi negara untuk membatasi hasratnya untuk mengatur, apalagi memberi sanksi. Semakin besar hasratnya untuk mengeluarkan kebijakan intervensionis (overregulasi, overcriminalization), maka peluang negara untuk melakukan pelanggaran HAM semakin besar.
Pembatasan Hak yang Diijinkan
22. Kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak tergolong dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Oleh karena itu, pembatasan atas pelaksanaan kebebasan berpendapat dan berekspresi diijinkan.
23. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Spirit pasal ini diturunkan dari Pasal 19 DUHAM dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Semangat yang sama ditegaskan Pasal 73 UU No. 39/1999.
24. Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang. Pada Pasal 5 KIHSP dinyatakan bahwa kegiatan apapun yang dilakukan negara, kelompok maupun individu tidak boleh ditujukan untuk menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam KIHSP (termasuk hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi) atau untuk membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam KIHSP.
25. Salah satu alasan pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah keamanan nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas alasan keamanan nasional lebih rinci dituangkan para ahli hukum internasional dalam Johannesburg Principles (Prinsip-prinsip Johannesburg). Adapun ekspresi yang dapat dinilai sebagai ancaman terhadap keamanan nasional hanya ketika pemerintah dapat menunjukkan bahwa ekspresi tersebut ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi, dapat memotivasi terjadinya kekerasan, atau ada hubungan langsung dan dekat antara ekspresi tersebut dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian kekerasan itu.
26. Selanjutnya, Prinsip-prinsip Johannesburg menentukan beberapa prinsip pembatasan HAM, yaitu:
a. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.
b. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah.
c. Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut; dan pembatasan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
27. Suatu pembatasan, berdasarkan Prinsip-prinsip Johannesburg, tidak sah jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkan dari suatu pembatasan adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak terkait dengan keamanan nasional. Hal ini termasuk untuk melindungi pemerintah dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial. Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hak tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional.
28. Alih-alih mencerminkan upaya negara untuk perlindungan hak dan reputasi individu, UU ITE justru berpotensi merusak kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia daring. Penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE terlalu luas dan umum, sehingga dapat dengan mudah mengkriminalkan pendapat individu atau kelompok warga yang sebetulnya tidak bermotif atau mengakibatkan suatu kekerasan dan mengancam keamanan nasional. Sebagai hak negatif, hak atas informasi semakin terjamin pemenuhannya jika negara lebih banyak memfasilitasi daripada mengatur. Semakin sedikit regulasi, maka semakin besar peluang bagi masyarakat modern di era digital untuk membangun sebuah tatanan self-regulating society yang sangat sehat bagi pembangunan demokrasi digital.
29. Pengaturan tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet semestinya mengacu pada KIHSP dan Prinsip-prinsip Johannesburg. Dalam dua norma HAM internasional tersebut dinyatakan bahwa kriminalisasi atas pendapat dan ekspresi individu atau kelompok warga diijinkan ketika pemerintah dapat menunjukkan bahwa: (a) suatu ekspresi ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi; (b) suatu ekspresi dapat memotivasi terjadinya kekerasan semacam itu; (c). ada hubungan langsung dan dekat antara suatu ekspresi dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian kekerasan; (d) adanya potensi penggunaan internet untuk penyebaran gambar-gambar pelecehan dan pornografi anak; (e) suatu ekspresi merupakan bagian dari penyebaran propaganda perang dan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan penghangsutan untuk diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.
30. Di atas semua itu, pemerintah tampaknya memilih jalan tol untuk memuluskan jalan bagi konvergensi dan konglomerasi media yang sebetulnya tidak kondusif bagi demokrasi dan HAM. Regulasi yang maksimal absen pada sisi ini. Dalam merespon perkembangan telematika, negara lebih memfasilitasi kepentingan bisnis ketimbang kepentingan pemajuan modal sosial (pendidikan) dan pelayanan publik (e-government). Namun dalam hal pemenuhan hak atas kebebasan informasi, pemerintah justru memilih jalur lambat. Regulasi berlebih justru tampak pada sisi ini. Kriminalisasi yang tak semestinya terhadap pendapat dan ekspresi di dunia maya patut diduga dapat menghambat kebebasan informasi yang sebetulnya merupakan oksigen bagi demokrasi di era digital.

Penjelasan tentang HAM (Hak Asasi Manusia)

HAM adalah hak-hak yang seharusnya diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodratnya sebagai manusia. Adapun pembatasan terhadap HAM tersebut dapat dibagi menjadi :
1. universal : tanpa melihat perbedaan suku, agama, ras, kepercayaan, usia, latar belakang, jenis kelamin, warna kulit.
2. Melekat (inherent) : hak tersebut bukan hasil pemberian kekuasaan/ orang lain.
Adapun ruang lingkup dari HAM adalah :

a. Larangan Diskriminasi
  Prinsip non diskriminasi adalah suatu konsep sentral dalam kaidah hak asasi manusia. Prinsip tersebut dapat diketemukan dalam instrumen umum hak asasi manusia. Komite Hak Asasi Manusia telah menyatakan bahwa dengan mengacu pada persamaan jenis kelamin Kovenan International mengenai hak sipil dan politik tidak hanya memerlukan perlindungan tetapi juga memerlukan tindakan penguat yang dimaksudkan untuk menjamin perolehan positif hak-hak yang sama.

b. Hak atas Penghidupan, Kemerdekaan, dan Keselamatan seseorang.
  Hak atas penghidupan dalam instrumen tidak dijamin sebagai hak mutlak. Misalnya, menurut Konvensi Eropa, pencabutan nyawa tidak bertentangan dengan hak atas penghidupan, apabila pencabutan ini diakibatkan oleh tindakan tertentu yang sudah ditetapkan. Dalam beberapa instrumen, laran gan hukuman mati dimuat dalam sebuah Protokol tersendiri. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi Amerika keduanya membatasi hukuman mati pada "kejahatan yang paling berat," keduanya mengatur bahwa hukuman mati harus hanya boleh dikenakan dengan suatu "keputusan final suatu pengadilan yang berwenang" sesuai dengan undang-undang yang tidak retroaktif. Kedua perjanjian internasional ini memberikan hak untuk mencari "pengampunan atau keringanan hukuman" dan melarang pengenaan hukuman mati pada orang di bawah usia delapan belas tahun pada saat melakukan kejahatan, dan melarang eksekusinya pada wanita hamil. Konvensi Eropa mensyaratkan hukuman mati dikenakan oleh suatu pengadilan, sesudah memperoleh keyakinan mengenai suatu kejahatan yang karena keputusannya ditetapkan oleh undang-undang.

c. Larangan .penganiayaan
  Semua instrumen umum melarang penganiayaan atau perlakuan secara kejam deng an tak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan. Konvensi melawan penganiayaan atau perlakuan secara kejam dengan tak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan ini disetujui pada tahun 1984 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konvensi tersebut menetapkan bahwa Negara berkewajiban mengekstradisi pelaku penganiayaan dan menuntutnya. Prinsip ini melibatkan yurisdiksi universal yang berarti bahwa setiap negara mempunyai yurisdiksi dan memiliki hak untuk mengekstradiksi atau menuntut pelaku penganiayaan tanpa dibatasi oleh kewarganegaraan pelaku penganiayaan atau tempat pelanggaran yang dituduhkan.

d. Hak Persamaan di Muka Hukum.
  Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu klausul nondiskriminasi. Ada tiga aspek yang dicakup oleh ketentuan ini. Aspek pertama adalah persamaan di muka hukum. Aspek kedua yaitu perlindungan hukum yang sama, dan aspek ketiga adalah perlindungan dari diskriminasi.



e. Hak Kebebasan Bergerak dan Berdiam
  Dalam perjanjian-perjanjian internasional hak-hak asasi manusia umum, hak kebebasan bergerak dan berdiam mencakup kebebasan memilih tempat tinggal dalam suatu Negara, kebebasan meninggalkan dan memasuki negerinya sendiri, hak untuk tidak dikeluarkan dari suatu negeri tanpa diberi kesempatan untuk menyanggah keputusan tersebut, dan bebas dari pengasingan.

f. Hak atas Kebebasan Pikiran, Hati Nurani, dan Agama
  Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan politik menyatakan bahwa perwujudan agama dan kepercayaan seseorang boleh dijadikan sasaran pembatasan seperti itu hanya karena ditentukan oleh undang-undang dan diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, atau moral umum, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.

Hubungan antara HAM dengan konsep Negara hukum
Negara hukum (the rule of law) lahir pada zaman Paus VII and Henriech IV th 1122, dimana kekuasaan raja/ gereja sebelumnya bersifat mutlak, perintahnya mengingkat kepada orang lain namun tidak pernah mengikat raja tersebut dimana kekuasaan semacam ini dikenal sebagai (the rule of man — titah). Jadi dengan lahirnya konsep the rule of law maka segala hukum yang lahir dari konsep kesepakatan ditempatkan pada posisi paling tinggi, yang pada akhirnya mendorong lahirnya “magna charta” yang isinya membatasi kekuasaan raja dan menghormati hak-hak warga kota (citizen). Jadi dalam suatu negara yang menerapkan konsep the rule of law, maka jaminan akan dihormatinya HAM lebih mudah diwujudkan.

B. SEJARAH HAM INTERNASIONAL
Di Inggris 1215 ; Magna Charta ; membatasi kekuasaan raja2 (raja John). Setelah PD I : Perjanjian negara-negara Eropa untuk melindungi kelompok minoritas dan harus dituangkan ke dalam uu Negara tersebut.
Abad 19 :
• Penghapusan perdagangan budak dan perlindungan hak buruh samapi lahirnya konvensi LBB untuk menghapus Perbudakan dan Perdagangan Budak).
• Pendirian ILO
• Pendirian ICRC Lahirnya Konvensi Genewa 1864 tentang perlindungan korban perang dan batas-batas cara dan pemakaian mesin perang.
• Lahirnya Konvensi Den Hag tentang pelarangan penggunaan gas beracun, senjata kimia
• Lahirnya Declaration of the Rights of Man and of citizens, AS 1776 diikuti Belanda 1798, Swedia 1709, Norwegia 1814, belgia 1831, Spanyol 1812 dsb.
Setelah Perang Dunia II
• Lahir Konvensi Genewa 1949 tentang Hukum Humaniter
• 1977 lahir Konvensi Genewa tentang gabungan antara konvensi genewa tentang perlindungan korban perang dan konvensi tentang tata cara perang.


Abad 20
• Nazi 1930-1940 Holocoust: pembantain kaum minoritas
• 1948 Universal Decalaration of Human Rights
• 1966 The International Covenant on Civil and Political Rights
• 1966 The International Covenant on Economical and Social and Cultural Rights.
C. SEJARAH PERKEMBANGAN HAM NASIONAl
Tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan penghormatan dan penegakan HAM sangat kuat ketika bangsa ini memperjuangkan hak asasinya, yaitu: "kemerdekaan", yang telah berabad-abad dirampas oleh penjajah.
Para pendiri negeri ini telah merasakan sendiri bagaimana penderitaan yang dialami karena hak asasinya diinjak-injak oleh penjajah. Oleh karena itu, tidak mengherankan setelah berhasil mencapai kemerdekaan, para pendiri negeri ini mencanturnkan prinsip-prinsip HAM dalam Konstitusi RI (Undang-undang Dasar 1945 dan Pembukaannya) sebagai pedoman dan cita-cita yang harus dilaksanakan dan dicapai.

Namun dalam perjalanan sejarah bangsa, pedoman dan cita-cita yang telah dicanturnkan dalam konstitusi tersebut tidak dilaksanakan bahkan dilanggar oleh pemerintah yang seharusnya melaksanakan dan mencapainya. Kita semua sudah mengetahui bahwa Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru tidak hanya tidak melaksanakan penghormatan dan penegakan HAM namun juga banyak melakukan pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan oleh alasan politis dan teknis. Alasan politis adalah situasi politik di tingkat nasional dan tingkat intemasional (perang dingin). Di jaman Orde Lama, focus kebijakan Pemerintah RI adalah "Revolusi". Kebijakan ini membawa kita ke konflik internal (domestik) dan intemasional, serta berakibat melupakan hak asasi rakyat. Sedangkan di jaman Orde Baru kebijakan pemerintah terfokus pada pembangunan ekonomi. Memang pembangunan ekonomi juga termasuk upaya pemenuhan HAM (hak ekonomi dan sosial). Namun kebijakan terlalu terfokus pada pembangunan ekonomi dan mengabaikan hak sipil dan politik, telah menyebabkan kegagalan pembangunan ekonomi itu sendiri. Adapun alasan teknis adalah karena prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam konstitusi belum dijabarkan dalam hukum positif aplikatif (Undang-undang Organik).

Sejak memasuki era reformasi, Indonesia telah melakukan upaya pemajuan HAM, termasuk menciptakan hukum positif yang aplikatif. Dilihat dari segi hukum, tekad bangsa Indonesia tercermin dari berbagai ketentuan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) dan Pancasila, dalam Undang-undang Dasar yang telah di amandemen, Undang-undang Nomor 39/1999 tentang HAM, Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan ratifikasi yang telah dilakukan terhadap sejumlah instrumen HAM intemasional
D. HAM DALAM UUD 1945
Dalam Pembukaan UUD 45 dengan tegas dinyatakan bahwa "pejajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Dalam Pancasila yang juga tercantum dalam Pembukaan UUD 45 terdapat sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Da1am P4, meskipun sekarang tidak dipakai lagi, namun ada penjelasan Sila kedua yang masih relevan untuk disimak, yaitu bahwa "dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa membedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit, dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan 'tepa salira " serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain".
  Dibandingkan dengan UUDS 1950, ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit, hanya 7 (tujuh) pasal saja masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34, sedangkan di dalam UUDS 1950 didapati cukup lengkap pasal-pasal HAM, yaitu sejumlah 35 pasal, yakni dari pasal 2 sampai dengan pasal 42. Jumlah pasal di dalam UUDS 1950 hampir sama dengan yang tercantum di dalam Universal Declaration of Human Rights.
  Meskipun di dalam UUD 1945 tidak banyak dicantumkan pasal-pasal tentang HAM, namun kekuarangan-kekurangan tersebut telah dipenuhi dengan lahirnya sejumlah Undang-undang antara lain UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 8 Tahun 1981 yang banyak mencantumkan ketentuan tentang HAM. UU No. 14 Tahun 1970 memuat 8 pasal tentang HAM, sedangkan UU No. 8 Tahun 1981 memuat 40 pasal. Lagipula di dalam Pembukaan UUD 45 didapati suatu pernyataan yang mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk menegakkan HAM yang berbunyi, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".

  Dalam amandemen kedua UUD 1945, pasal 28 telah dirobah menjadi bab tersendiri yang memuat 10 pasal mengenai hak asasi manusia. Sebagian besar isi perubahan tersebut mengatur mengani hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Adapun Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dalam Bab X A Undang-undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :

 Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A)
 Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah (Pasal 28 B ayat 1)
 Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28 B ayat 2)
 Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28 C ayat 1)
 Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya (Pasal 28 C ayat 1)
 Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (Pasal 28 C ayat 2)
 Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 28 D ayat 1)
 Hak utnuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 D ayat 3)
 Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat 3)
 Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D ayat 4)
 Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28 E ayat 1)
 Hak memilih pekerjaan (Pasal 28 E ayat 1)
 Hak memilih kewarganegaraan (Pasal 28 E ayat 1)
 Hak memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali (Pasal 28 E ayat 1)
 Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (Pasal 28 E ayat 2)
 Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E ayat 3)
 Hak untuk berkomunikasi dan memeperoleh informasi (Pasal 28 F)
 Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda (Pasal 28 G ayat 1)
 Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia (Pasal 28 G ayat 1)
 Hak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28 G ayat 2)
 Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 H ayat 1)
 Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 H ayat 1)
 Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28 H ayat 2)
 Hak atas jaminan sosial (Pasal 28 H ayat 3)
 Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 28 H ayat 4)
 Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) (Pasal 28 I ayat 1)
 Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut (Pasal 28 I ayat 2)
 Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3)
 Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (pasal 28 I ayat 4)
 Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (pasal 28I ayat 5)
 Setiap orang wajib menghormati hak orang lain (pasal 28 J ayat 1)
 Setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasanya wajib tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang (pasal 28 J ayat 2)



  Definisi hak-hak sipil dan politik
  Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar menusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik.
Adapun yang berkewajiban untuk melindungi hak-hak sipil dan politik warga negara sesuai dengan Pasal 8 Undang-undang No. 39 tahun 1999 ditegaskan bahwa perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.

Karakteristik hak-hak sipil dan politik:
1. Dicapai dengan segera;
2. Negara bersifat pasif;
3. Dapat diajukan ke pengadilan;
4. Tidak bergantung pada sumber daya;
5. Non-ideologis.
Di dalam perlindungan hak-hak sipil dan politik, peran negara harus dibatasi karena hak-hak sipil dan politik tergolong ke dalam negative right, yaitu hak-hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Bila negara bersifat intervensionis, maka tidak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur d idalamnya akan dilanggar negara.
Hak-hak yang termasuk ke dalam hak-hak sipil dan politik
 1. Hak hidup;
 2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi;
 3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa;
 4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi;
 5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah;
 6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum;
 7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama;
 8. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi;
 9. Hak untuk berkumpul dan berserikat;
 10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.
Instrumen HAM yang mengatur hak-hak sipil dan politik:
1. UUD 1945 (Pasal 28 A, 28 B (ayat 1, 2), 28 D ayat (1, 3, 4), 28 E ayat (1, 2, 3), 28 F, 28 G ayat (1, 2), 28 I ayat (1, 2).
KESIMPULAN
 Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah tuhan yang maha esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara sebagimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbasis hak asasi manusia.

Wawasan nusantara

Wawasan Nasional Suatu Bangsa

Suatu bangsa yang telah mendirikan suatu negara, dalam menyelenggarakan kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Pengaruh itu timbul dari hubungan timbal balik antara filosofis bangsa, ideologi, aspirasi serta cita-cita dan kondisi sosial masyarakat, budaya, tradisi, keadaan alam, wilayah serta pengalaman sejarahnya.
 

Pemerintah dan rakyat memerlukan suatu konsepsi berupa wawasan nusantara untuk menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati diri bangsa. Kata ”wawasan” itu sendiri berasal dari wawas (bahasa Jawa) yang artinya melihat atau memandang. Dengan penambahan akhiran –an, kata ini secara harfiah berarti ’cara pengelihatan atau tinjau atau cara pandang’.

Kehidupan suatu bangsa dan negara senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis. Karena itu, wawasan itu harus mampu memberi inspirasi pada suatu bangsa dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan strategis dan dalam mengejar kejayaannya.

Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan, suatu bangsa perlu memperhatikan tiga faktor utama:
  1. Bumi atau ruang dimana bangsa itu hidup.
  2. Jiwa, tekad, dan semangat manusianya atau rakyatnya.
  3. Lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, wawasan nusantara adalah cara pandang suatu bangsa yang telah me-negara tentang diri dan lingkungannya dalam ekisitensinya yang serba terhubung (melalui interaksi dan interrelasi) dan dalam pembangunannya di lingkungan nasional (termasuk lokal dan propinsional), regional, serta gelobal.

Konsep Dasar Wawasan Nasional Indonesia
Wawasan Nasional Indonesia merupakan wawasan yang dikembangkan berdasarkan teori wawasan nasional secara universal. Wawasan tersebut dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan bangsa Indonesia dan geopolitik Indonesia.

1. Paham Kekuasaan Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut paham tentang perang dan damai:”Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan.” Wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran tentang kekuasaan dan adu kekuatan, karena hal tersebut mengandung benih-benih persengketaan dan ekspansionisme.

Ajaran wawasan nasional bangsa Indonesia menyatakan bahwa: ideologi digunakan sebagai landasan idiil dalam menentukan politik nasional, dihadapkan pada kondisi dan konstelasi geografi Indonesia dengan segala aspek kehidupan nasionalnya. Tujuannya adalah agar bangsa Indonesia dapat menjamin kepentingan bangsa dan negaranya di tengah-tengah perkembangan dunia.

2. Geopolitik Indonesia

Pemahaman tentang kekuatan dan kekuasaan yang dikembangkan di Indonesia didasarkan pada pemahaman tentang paham perang dan damai serta disesuaikan dengan kondisi dan konstelasi geografi Indonesia. Sedangkan pemahaman tentang Negara Indonesia menganut paham Negara kepulauan, yaitu paham yang dikembangkan dari asas archipelago yang memang berbeda dengan pemahaman archipelago di negara-negara Barat pada umumnya.
Perbedaan yang esensial dari pemahaman ini adalah bahwa menurut paham Barat, laut berperan sebagai “pemisah” pulau, sedangkan menurut paham Indonesia laut adalah “penghubung” sehingga wilayah Negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai “Tanah Air” dan disebut Negara Kepulauan.

3. Dasar Pemikiran Wawasan Nasional Indonesia

Dalam menentukan, membina, dan mengembangkan wawasan nasionalnya, bangsa Indonesia menggali dan mengembangkan  dari kondisi nyata yang terdapat di lingkungan Indonesia sendiri. Wawasan Nasional Indonesia dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasaan bangsa Indonesia yang berlandaskan pemikiran kewilayahan dan kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu, pembahasan latar belakang filosofis sebagai dasar pemikiran pembinaan dan pengembangan wawasan nasional Indonesia ditinjau dari:
  • Latar belakang pemikiran berdasakan falsafah Pancasila.
  • Latar belakang pemikiran aspek kewilayahan Nusantara.
  • Latar belakang pemikiran aspek sosial budaya bangsa Indonesia.
  • Latar belakang pemikiran aspek kesejarahan bangsa Indonesia.

Rabu, 14 Maret 2012

Cinta Tanah Air

Cinta tanah air ialah perasaan cinta terhadap bangsa dan negaranya sendiri.Usaha membela bangsa dari serangan penjajahan.Dalam cinta tanah air terdapat nilai-nilai kepahlawanan ialah:Rela dengan sepenuh hati berkorban untuk bangsa dan Negara.
Pada hakekatnya cinta tanah air dan bangsa adalah kebanggaan menjadi salah satu bagian dari tanah air dan bangsanya yang berujung ingin berbuat sesuatu yang mengharumkan nama tanah air dan bangsa.
Cinta Tanah Air adalah suatu ilmu yang mempelajari sikap kita ,rela berkorban terhadap Negara Indonesia. Untuk memahami pentingnya mewujuddkan cinta tanah air, dapat kita wujudkan setiap hari dengan bagaimana sikap kita dalam menjalani hidup berbangsa dan bertanah air dengan giat,pantang menyerah,peduli,dan saling membantu antar umat. Itu merupakan cerminan dari Cintra Tanah Air
Rasa Cinta Tanah Air dapat ditanamkan kepada anak sejak usia dini agar rasa terhadap cinta tanah air tertananam dihatinya dan dapat menjadi manusia yang dapat menghargai bangsa dan negaranya misalnya dengan upacara sederhana setiap hari Senin yang di lakukuan di sekolah dengan menghormat bendera Merah Putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penuh bangga, dan mengucapkan Pancasila dengan semangat. Meskipun lagu Indonesia Raya masih sulit dan panjang untuk ukuran anak usia dini, tetapi dengan membiasakan mengajak menyanyikannya setiap hari Senin pada upacara, maka anak akan hafal dan bisa memahami isi lagu. Merah Putih bisa diangkat menjadi sub tema pembelajaran.Pentingnya sebuah lagu kebangsaan dan itu menjadi sebagai identitas dari negara tersebut, agar dapat mengingatkan kembali betapa pentingnya cinta terhadap Negara Republik Indonesia.
Kegiatan seperi ini bisa diarahkan pada lima aspek perkembangan sikap perilaku maupun kemampuan dasar. Pada aspek sikap perilaku, melalui cerita bisa menghargai dan mencintai Bendera Merah Putih, mengenal cara mencintai Bendera Merah Putih dengan merawat dan menyimpan dengan baik, menghormati bendera ketika dikibarkan.