Jumat, 23 Maret 2012

Konglomerasi Media di Era Digital dan Kebebasan Informasi Tentang Ham


Pengantar
1. Di masa lalu, ketika rejim otoriter berkuasa, kebebasan pers dibatasi—untuk tidak mengatakan dibungkam. Kritik yang dilontarkan dunia pers hampir tak pernah bisa muncul ke permukaan. Ada beberapa instrumen yang digunakan rejim otoriter masa lalu untuk mengerdilkan komunitas pers. Salah satunya adalah ancaman pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang digunakan penguasa masa lalu untuk mengerangkeng kebebasan pers, utamanya ketika kritik dan pemberitaan suatu media dianggap mengancam kekuasaan. Pembreidelan terhadap Tempo, Detik, dan Editor pada 1994 menegaskan masa-masa kelam kebebasan pers di masa lalu.

2. Setelah rejim otoriter jatuh pada 1998, kebebasan pers di Indonesia membaik. Rejim-rejim Pasca-Soeharto membuka kran kebebasan pers seiring dengan diterimanya rejim demokrasi dan HAM dalam politik hukum kita. Sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi, media massa mengalami kebebasan yang hampir mencapai puncaknya. Media massa kita bebas memberitakan apapun tanpa khawatir adanya pembreidelan. Pertanyaannya kemudian: apakah kebebasan pers yang kita nikmati kini telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi penguatan rejim demokrasi dan HAM?
3. Pertanyaan itu tak mudah dijawab secara meyakinkan. Kini bahkan tampak kecenderungan munculnya arus balik ketika kebebasan pers dan demokrasi menampakkan sisi gelapnya: mekanisme pasar yang difasilitasi kebebasan politik dan demokrasi memungkinkan siapapun, termasuk si empunya modal besar, untuk membangun imperium bisnis, termasuk di dalamnya bisnis media. Kekuatan media sebagai pembangun diskursus, opini publik, dan citra telah menjadi magnet kuat yang menarik aktor-aktor ekonomi dan politik untuk masuk dan terlibat dalam industri media.
Jalan Tol bagi Konglomerasi dan Konvergensi Media
4. Aktor-aktor ekonomi pemilik modal besar melirik pentingnya media sebagai ”kendaraan” untuk mengukuhkan dominasi ekonomi politiknya. Kecenderungan ini bermuara pada munculnya fenomena mutakhir dimana kepemilikan media-media arus utama (mainstream) dikuasai oleh segelintir pengusaha besar (konglomerat), baik yang memiliki kedekatan politik dengan penguasa ataupun pengusaha yang sedang mengincar kekuasaan politik. Sekurang-kurangnya ada empat pihak yang menguasai kepemilikan media besar, yaitu Chairul Tanjung, Kelompok Kompas Gramedia, Harry Tanoesoedibjo, dan Aburizal Bakrie.
5. Konglomerasi media makin disuburkan oleh revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh kehadiran internet dan digitalisasi data dan informasi. Situasi ini membuka peluang bagi terjadinya konvergensi (penggabungan) media. Ada tiga bentuk konvergensi media, yaitu:
a. Konvergensi telematika yang ditandai oleh penggabungan berbagai bentuk saluran media konvensional (cetak dan elektronik) ke dalam suatu media tunggal. Data dan informasi yang disuguhkan melalui suratkabar dan televisi, misalnya, bisa diakses secara online melalui internet maupun telepon genggam. Berbagai layanan informasi yang dulunya disajikan melalui beberapa media konvensional dapat disuguhkan dalam satu media tunggal.
b. Konvergensi kepemilikan media yang ditandai oleh kepemilikan beberapa media oleh satu grup usaha. Seorang pengusaha media memiliki beberapa jenis media sekaligus, baik media cetak, televisi, radio, maupun media daring. Argumen efisiensi dan taktik bisnis melatarbelakangi konvergensi jenis ini. Hal ini berdampak pada pemusatan kepemilikan media pada beberapa gelintir pengusaha media.
c. Konvergensi kepemilikan silang bisnis media dan nonmedia yang ditengarai oleh kepemilikan media oleh pengusaha-pengusaha bermodal kuat yang dekat dengan komunitas politik dan memiliki bisnis nonmedia (properti dan tambang, misalnya). Mereka terjun ke bisnis media dan, dengan demikian, memiliki kapasitas yang besar untuk “mengintervensi” proses pembentukan opini publik melalui media yang dimilikinya, utamanya ketika wacana publik tengah mempersoalkan bisnis nonmedia si empunya media. Longgarnya aturan tentang kepemilikan media patut diduga telah melahirkan fenomena ini.
6. Pemusatan kepemilikan media hanya pada segelintir pengusaha di ring politik utama harus diwaspadai sebagai ancaman tersembunyi bagi demokrasi dan HAM. Alih-alih memunculkan kompetisi bisnis media yang sehat, kepemilikan silang bisnis media dan nonmedia dapat melahirkan suatu gejala lain yang mengancam demokrasi dan HAM, yaitu kartel politik. Kartel jenis ini dapat mengontrol agenda opini dan kebijakan publik.
7. Media berhubungan dengan pembangunan wacana di wilayah publik dan lalu berdampak pada pengkristalan opini publik. Opini publik sendiri, dalam iklim demokrasi, akan sangat berpengaruh bagi penyusunan agenda kebijakan publik. Jika media hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha yang berada di sekitar ring politik, pembangunan wacana publik besar kemungkinan akan mengalami abuse dan decay (pembusukan). Agenda-agenda kebijakan publik pada akhirnya hanya akan dipengaruhi oleh “opini publik” yang lebih merepresentasikan kepentingan ekonomi-politik si empunya media, dan bukan kepentingan publik dalam arti sesungguhnya.
8. Dampak lain dari konglomerasi dan konvergensi kepemilikan bisnis media dan nonmedia adalah makin seragamnya informasi dan berita yang disuguhkan kepada publik. Di samping itu, kemungkinan degradasi kualitas pemberitaan media sulit untuk dihindari ketika—demi efisiensi—sebuah grup media mempekerjakan wartawan untuk beberapa media dalam grupnya. Alhasil, sulit bagi publik untuk menerima informasi yang lengkap, beragam, dan obyektif.
9. Dalam konteks pembangunan kebebasan pers yang sehat bagi demokrasi dan HAM, langkah dan kebijakan pemerintah untuk membatasi pemusatan kepemilikan media di satu sisi dan menjamin hak warga atas informasi di sisi lain menjadi agenda penting untuk menjaga keragaman dan kedalaman informasi bagi publik.
Jalur Lambat Bagi Kebebasan Informasi
10. Respon pemerintah dalam menanggapi revolusi teknologi informasi tidak tepat sasaran. Alih-alih membangun regulasi yang membatasi peluang para pemilik modal besar untuk”mengintervensi” agenda-agenda kebijakan publik melalui media yang dimilikinya, pemerintah justru lebih fokus pada pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi warga di internet.
11. Pada 2008 Pemerintah Indonesia memberlakukan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini dapat mengkriminalisasi siapapun yang menulis di media elektronik, termasuk internet, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pasal 27 UU ITE menyatakan larangan untuk “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
12. Pada Mei 2009 pasal karet dalam UU ITE itu telah menjerat seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari, dengan pasal pencemaran nama baik. Prita adalah mantan pasien Rumah Sakit (RS) Omni Internasional, Tangerang. Prita tidak mendapatkan kesembuhan setelah dirawat RS Omni, bahkan penyakitnya bertambah parah. Prita kemudian mengeluhkan pelayanan RS Omni melalui e-mail yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di internet. RS Omni yang merasa nama baiknya dicemarkan oleh e-mail Prita, lalu mengadukan Prita ke pengadilan. Prita diputus bersalah dalam pengadilan perdata dengan tuduhan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Ayat 3 Pasal 27 UU ITE. Prita harus membayar denda kepada RS Omni Internasional senilai Rp. 204 juta.
13. UU ITE tidak sejalan dengan rejim HAM yang dibangun bangsa ini sejak rejim otoriter mengalami kebangkrutan pada 1998.
Hak atas Informasi sebagai Hak Asasi Manusia
14. Pada 1946 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa hak atas informasi sangat penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Hak ini menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris yang, dengannya, menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya. Dengan pertimbangan itu, hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di dalam pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.
15. Penguatan hak atas informasi dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 (Kovenan Sipol) yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Di dalam Pasal 19 Kovenan Sipol dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya.
16. Norma-norma HAM yang tercantum di dalam instrumen-instrumen pokok sebagaimana disebut dalam paragraf 14 dan 15 mengikat Negara Indonesia dan berlaku sebagai hukum nasional (supreme law of the land). Pemerintah Indonesia selanjutnya mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam hukum HAM internasional tersebut dan sekaligus mengakui bahwa hak-hak yang terkandung dalam instrumen tersebut dimiliki oleh seluruh individu. Mengingat Indonesia tidak mereservasi ketentuan-ketentuan dalam Kovenan Sipol, maka ketentuan dalam kovenan Sipol, termasuk soal hak atas informasi, berlaku bagi Indonesia.
17. Di dalam instrumen hukum nasional, hak atas informasi ditempatkan dalam konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karena itu, hak atas informasi diklasifikasikan sebagai hak konstitusional yang menuntut kewajiban negara dalam pemenuhannya. Hak atas informasi juga ditegaskan UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 14/2008 tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP).
Negara Sebagai Pemangku Kewajiban
18. Dalam hukum HAM, negara c.q. pemerintah berkedudukan sebagai pemangku kewajiban. Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the obligation tofulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut.
19. Kewajiban negara c.q. pemerintah untuk memajukan dan menegakkan HAM tertera pada UUD 1945. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Semangat yang sama tampak dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 39/1999 yang menegaskan bahwa negara wajib menghormati, melindungi, serta menjunjung tinggi HAM.
20. Hak atas informasi dimasukkan ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik (sipol) dan bukan merupakan rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Ada dua perbedaan mendasar antara hak-hak ekosob dan hak-hak sipol. Hak-hak sipol disebut juga sebagai hak negatif yang mensyaratkan tiadanya campur tangan negara dalam pemenuhannya dan bersifat justiciable. Negara harus memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap individu untuk menikmati hak-haknya (Kasim, 2001). Semakin negara mengatur tentang hak sipol, maka peluang bagi terjadinya pelanggaran HAM makin besar. Sebaliknya hak-hak ekosob merupakan hak positif yang mensyaratkan keterlibatan aktif negara untuk mewujudkan penikmatannya secara progresif dan nonjusticiable (Kasim dan Arus, 2001).
21. Dalam konteks sebagaimana disebut paragraf 20, pengaturan terhadap hak atas informasi, utamanya dalam hal konten, sangat baik bagi negara untuk membatasi hasratnya untuk mengatur, apalagi memberi sanksi. Semakin besar hasratnya untuk mengeluarkan kebijakan intervensionis (overregulasi, overcriminalization), maka peluang negara untuk melakukan pelanggaran HAM semakin besar.
Pembatasan Hak yang Diijinkan
22. Kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak tergolong dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Oleh karena itu, pembatasan atas pelaksanaan kebebasan berpendapat dan berekspresi diijinkan.
23. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Spirit pasal ini diturunkan dari Pasal 19 DUHAM dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Semangat yang sama ditegaskan Pasal 73 UU No. 39/1999.
24. Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang. Pada Pasal 5 KIHSP dinyatakan bahwa kegiatan apapun yang dilakukan negara, kelompok maupun individu tidak boleh ditujukan untuk menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam KIHSP (termasuk hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi) atau untuk membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam KIHSP.
25. Salah satu alasan pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah keamanan nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas alasan keamanan nasional lebih rinci dituangkan para ahli hukum internasional dalam Johannesburg Principles (Prinsip-prinsip Johannesburg). Adapun ekspresi yang dapat dinilai sebagai ancaman terhadap keamanan nasional hanya ketika pemerintah dapat menunjukkan bahwa ekspresi tersebut ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi, dapat memotivasi terjadinya kekerasan, atau ada hubungan langsung dan dekat antara ekspresi tersebut dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian kekerasan itu.
26. Selanjutnya, Prinsip-prinsip Johannesburg menentukan beberapa prinsip pembatasan HAM, yaitu:
a. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.
b. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah.
c. Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut; dan pembatasan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
27. Suatu pembatasan, berdasarkan Prinsip-prinsip Johannesburg, tidak sah jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkan dari suatu pembatasan adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak terkait dengan keamanan nasional. Hal ini termasuk untuk melindungi pemerintah dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial. Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hak tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional.
28. Alih-alih mencerminkan upaya negara untuk perlindungan hak dan reputasi individu, UU ITE justru berpotensi merusak kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia daring. Penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE terlalu luas dan umum, sehingga dapat dengan mudah mengkriminalkan pendapat individu atau kelompok warga yang sebetulnya tidak bermotif atau mengakibatkan suatu kekerasan dan mengancam keamanan nasional. Sebagai hak negatif, hak atas informasi semakin terjamin pemenuhannya jika negara lebih banyak memfasilitasi daripada mengatur. Semakin sedikit regulasi, maka semakin besar peluang bagi masyarakat modern di era digital untuk membangun sebuah tatanan self-regulating society yang sangat sehat bagi pembangunan demokrasi digital.
29. Pengaturan tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet semestinya mengacu pada KIHSP dan Prinsip-prinsip Johannesburg. Dalam dua norma HAM internasional tersebut dinyatakan bahwa kriminalisasi atas pendapat dan ekspresi individu atau kelompok warga diijinkan ketika pemerintah dapat menunjukkan bahwa: (a) suatu ekspresi ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi; (b) suatu ekspresi dapat memotivasi terjadinya kekerasan semacam itu; (c). ada hubungan langsung dan dekat antara suatu ekspresi dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian kekerasan; (d) adanya potensi penggunaan internet untuk penyebaran gambar-gambar pelecehan dan pornografi anak; (e) suatu ekspresi merupakan bagian dari penyebaran propaganda perang dan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan penghangsutan untuk diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.
30. Di atas semua itu, pemerintah tampaknya memilih jalan tol untuk memuluskan jalan bagi konvergensi dan konglomerasi media yang sebetulnya tidak kondusif bagi demokrasi dan HAM. Regulasi yang maksimal absen pada sisi ini. Dalam merespon perkembangan telematika, negara lebih memfasilitasi kepentingan bisnis ketimbang kepentingan pemajuan modal sosial (pendidikan) dan pelayanan publik (e-government). Namun dalam hal pemenuhan hak atas kebebasan informasi, pemerintah justru memilih jalur lambat. Regulasi berlebih justru tampak pada sisi ini. Kriminalisasi yang tak semestinya terhadap pendapat dan ekspresi di dunia maya patut diduga dapat menghambat kebebasan informasi yang sebetulnya merupakan oksigen bagi demokrasi di era digital.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar